Oleh : Dony P Herwanto
Di tubir dipan ruang IGD Anak, Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo (RSCM)
Jakarta, tangan Ivan Berkat Tama Gulo memegang kepala mungil Nadine Sohaga
Gulo.
Ivan tak kuat melihat anak keduanya yang
terbaring menahan sakit itu. Sesekali, Ivan mencium kening Nadine yang
didiagnosis Atresia Bilier.
Mata Nadine menguning, seperti senja. Tapi
senja yang kesakitan. Di ruang IGD Anak itu juga, Erna Wati Gulo, ibu Nadine,
berdiri tak jauh dari Ivan. Sekuat tenaga, Erna menahan air mata.
Ivan turun dari dipan, mengambil sikap
jongkok. Dengan nafas tak beraturan, Ivan memegang kepala Nadine. Memejamkan
mata, kemudian berdoa :
Tuhan, tolong jangan sakiti anak saya kalau
ada salah dan dosa kami, karena ada salah saya ke anak saya, juga maafkan anak
saya jika ada salah, tolonglah dimaafkan dan saya mengikhlaskan anak saya ini
untuk berpulang kepada engkau.
Begitu Ivan selesai berdoa, di situ juga
Nadine mengembuskan nafas terakhir. Bayi 6 bulan lebih 16 hari itu menutup mata
untuk selama-lamanya, pada Senin, 10 Agustus 2020, pukul 23.17 WIB, di RSCM,
Jakarta.
***
Nadine Sohaga Gulo, lahir 25 Januari 2020
di Gunung Sitoli, Kepulauan Nias, Sumatera Utara. Dua minggu setelah kelahiran,
ada kuning di mata dan seluruh tubuh Nadine.
Melihat kondisi putri keduanya itu, Erna
Wati Gulo tidak panik, lantaran, bayi kuning setelah lahir itu sudah biasa di
Desa Baruzo, Kecamatan Sogaeadu, Kabupaten Nias.
Tubuh dan mata Nadine yang menguning hanya
dijemur di halaman rumah setiap hari selama sebulan.
Nadine — saat itu — juga terlihat sehat
dan gemuk. Sekilas tumbuh normal seperti bayi pada umumnya.
Sebagai ibu, Erna menyimpan kekhawatiran
akan kondisi Nadine. Rasa penasaran yang terus membuncah, membawa Erna pergi ke
Puskesmas Sogaeadu yang berjarak 1 kilo meter dari rumahnya untuk diperiksa.
Di Puskesmas, Nadine, yang waktu itu baru
berumur 1 bulan, langsung diperiksa oleh dr. Fadli, dokter umum di Puskesmas
Sogaeadu.
Menurut diagnosis dokter Fadli, Nadine
kekurangan cairan. Dokter Fadli pun menyarankan Erna untuk membawa Nadine ke
rumah sakit.
Kuning di tubuh dan mata Nadine tak kunjung
membaik. Malah sebaliknya. Erna semakin khawatir dengan kondisi Nadine yang
setiap hari merintih kesakitan.
Berbekal niat mencari kesembuhan, Erna
akhirnya membawa Nadine ke RSUD Gunung Sitoli yang berjarak sekira 28 kilo
meter dari rumah Erna.
Dengan mengendarai sepeda motor, Erna
menghabiskan waktu perjalanan sekira 45 menit untuk sampai di RSUD Gunung
Sitoli.
Sesampainya di rumah sakit, Nadine langsung
ditangani oleh dokter spesialis anak, dr. Tati K. Ziliwu, M.Sc, Sp.A.
Dokter Tati mendiagnosis bahwa Nadine
kelebihan warna Urine. Nadine diminta opname.
“Selama 2 minggu kami di rumah sakit.
Nadine terus merintih kesakitan. Setiap malam saya menangis melihat kondisi
Nadine,” kata Erna.
Perawat di rumah sakit yang merawat Nadine
menyarankan, Nadine diberikan air mineral yang banyak, dan konsumsi air gula.
“Kalau anak kurang cairan memang
menguning. Kalian kasih banyak air putih dan air gula,” kata Erna
menirukan apa yang dikatakan perawat di RSUD Gunung Sitoli.
Sepulang dari rumah sakit, anjuran perawat
tak pernah putus dilakukan. Nadine diberi air gula dan air mineral. Lewat
beberapa hari, sakit Nadine semakin parah. Nadine demam.
“Matanya menguning parah, seperti
kuning kunyit,” ucap Ivan – ayah Nadine – mengingat kejadian itu . Setiap
kencing, lanjutnya, ada semacam lumut. Lumut warna kuning.
Dua minggu setelah keluar dari rumah sakit,
Erna membawa Nadine ke Gunung Sitoli lagi. Tetapi kali ini, Erna tidak ke rumah
sakit. Erna menilai diagnosis dari pihak rumah sakit tidak menjawab
kekhawatirannya.
Erna menemui dokter spesialis kebidanan dan
kandungan yang selama masa kehamilan memeriksanya, dr. Sim Romi Sp.OG di Jalan
Diponegoro no. 174, Kelurahan Ilir, Gunung Sitoli.
Di tempat dr. Romi, Erna seperti tersambar
petir di siang bolong. Dengan menggunakan USG, dokter Romi memeriksa Nadine.
“Ah kenapa kamu baru bawa ke sini,
kenapa kamu nggak bawa ini ke rumah sakit umum. Hati anak ini sudah
bengkak, terus empedunya tidak nampak, tidak ada,” kata Erna menirukan
ucapan dr. Romi.
Dokter Romi menyarankan Erna membawa Nadine
ke dokter spesialis anak. Penyakit Nadine harus ditangani lebih serius.
Sayangnya, di Kepulauan Nias, hanya ada 2 dokter spesialis anak.
Berbilang hari, Erna akhirnya menemui dr.
Dewi M. Pasaribu M.Ked (Ped). Sp.A, dokter anak kedua yang ditemuinya.
Dari dokter Dewi-lah, Erna mengetahui bahwa
ada organ tubuh di sebelah kanan yang tidak terlihat. Selain itu, ada
pembengkakan di hati Nadine.
Keadaan Nadine-lah yang membuat Erna tak
menyerah begitu saja. Demi kesembuhan Nadine, apapun dilakukan.
Erna membawa Nadine ke sejumlah tempat di Pulau
Nias untuk mencari alternatif penyembuhan.
Erna tak mengetahui dengan pasti, sakit apa
yang diderita Nadine. Pun dengan 2 dokter anak itu.
Banyak orang tua di Desa Baruzo menyarankan
Erna untuk mencoba obat-obatan tradisional, seperti daun mutiara, daun kunyit
dan bajakah (kayu dari Kalimantan).
Daun mutiara dan bajakah dimasak kemudian
airnya diminum. Daun kunyit juga dimasak, bukan untuk diminum, melainkan
dioleskan di perut Nadine.
Hanya upaya-upaya alternatif itulah yang
dilakukan Erna sambil menunggu kabar baik datang dari RSUD Gunung Sitoli.
Dengan obat-obatan itu, kuning di mata dan
tubuh Nadine berkurang sedikit. Akan tetapi, terkadang, keluar darah segar dari
pusar Nadine.
Makin lama, tubuh Nadine tinggal kulit dan
tulang. Erna, berkali-kali menangis melihat kondisi Nadine yang semakin
memburuk dengan penyakit yang tidak diketahui Erna dan Ivan.
Dua hari setelah Iduladha, Erna dan Ivan
membawa Nadine ke Medan, ke Rumah Sakit Murni Teguh.
Di sinilah, Ivan mulai terlihat patah
semangat. Biaya kesembuhan bagi Nadine yang menjadi pangkalnya.
Tetapi, Erna adalah ibu yang kuat. Dia
terus meyakinkan Ivan agar terus mendampingi Nadine sampai batas takdirnya.
Jumat, 7 Agustus 2020, Erna, Ivan, Nadine
dan sejumlah pendamping dari Nias, terbang ke RSCM Jakarta, rumah sakit
yang menjadi rujukan anak-anak atresia bilier untuk mendapatkan hati yang baru.
.
Sejak Muhammad Khalid Arsya didiagnosis
Atresia Bilier, oleh dokter di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek, Bandar Lampung,
Sartiani — Ibu Arsya — tak menunggu waktu lama untuk mencari tahu tentang
penyakit yang baru kali pertama didengarnya itu.
Saat itu, Arsya baru berumur 4 bulan.
Sartiani harus meminjam telepon pintar milik tetangga untuk mengetahui penyakit
Atresia Bilier, mulai dari penyebab, sampai biaya yang dikeluarkan untuk proses
penyembuhan anak ketiganya itu.
Setelah mengetahui besaran biaya yang akan
dikeluarkan, Sartiani meminta kepada pihak rumah sakit agar pengobatan Arsya
bisa dilakukan di Lampung.
Meski waktu tempuh dari rumah menuju rumah
sakit sekira 3 jam menggunakan bus, Sartiani mengaku rela jika harus setiap
hari pergi ke Bandar Lampung.
“Demi kesembuhan Arsya,” kata
Sartiani.
Kenyataan tak sesuai dengan harapan. Pihak
rumah sakit mengaku kurang memiliki peralatan yang memadai untuk penanganan
penyakit Arsya. Pada akhirnya, Arsya tetap dirujuk ke RSCM, Jakarta.
“Saya tidak ada keluarga di Jakarta.
Banyak yang menakut-nakuti soal Jakarta. Tapi ada juga yang memberi kabar baik
tentang Jakarta. Katanya, masih banyak orang baik di Jakarta. Saya semangat
lagi,” kata Sartiani.
Pada 28 Mei 2019, Sartiani, Arsya dan suami
memutuskan untuk pergi ke Jakarta dengan menyewa travel. Itupun dengan meminjam
uang saudara.
Di tengah perjalanan Lampung — Jakarta
yang memakan waktu sekira 9 jam, Sartiani berpikir, begitu sampai RSCM, Arsya
langsung ditangani, operasi, perawatan beberapa bulan, kemudian pulang.
Kenyataan — sekali lagi – berkata lain.
Semua jauh dari perkiraan. Sartiani, Arsya dan suami sudah hampir 2 tahun
tinggal di Rumah Singgah milik Yayasan Rumah Satu Hati yang tak begitu jauh
dari RSCM. Kini, usia Arsya sudah 1 tahun 7 bulan.
“Aku juga belum tahu kapan anakku akan
dioperasi. Semoga pandemi ini
cepat berlalu,” ucap Sartiani.
Sebelum pandemi, ayah Arsya baru
memulai tahap awal screening: rontgen dada (torax), USG Abdomen atau perut
untuk melihat perlemakan di hati,
dan vibroscan CAP untuk mengetahui tingkat kekerasan hati dan tingkat ketebalan
perlemakan di hati.
Setelah wabah masuk, ayah Arsya tidak tahu
lagi harus berbuat apa. Barangkali, hanya menunggu kabar baik dari RSCM.
Memang sejak wabah Covid-19 masuk
Indonesia, RSCM praktis menunda program transplantasi hati.
Dari Januari-Agustus 2020, RSCM tercatat
baru 1 kali melakukan transplantasi hati.
Meski tak lama setelah operasi, pasien
atresia bilier meninggal sebelum sempat dibawa pulang ke rumah.
Ketua Transplantasi Organ dan Jaringan RSCM
— FKUI, Prof. DR. dr. Hanifah Oswari SpA(K), mengakui memang
sejak Februari — Juli 2020, RSCM belum melakukan operasi transplant hati.
“Itu (penundaan transplant hati) bukan
kemauan kami (RSCM). Masalahnya, di waktu awal-awal pandemi, kami perlu
hati-hati,” kata Prof. Hanifah.
Menurut Prof. Hanifah, operasi bedah yang
memiliki resiko tinggi terpapar Covid-19 sengaja ditunda dahulu. Semata-mata
untuk menjaga dokter, tenaga medis, pasien dan keluarga pasien dari Covid-19
yang tidak terlihat.
Selain itu, lanjut Prof Hanifah, operasi
transplant hati membutuhkan waktu yang lama.
Kemungkinan terpapar tinggi, pasien di
bius, pasien juga tanpa perlindungan di pernafasan.
Dari segi tenaga medis, APD yang dipakai
saat operasi di saat pandemi juga membuat kurang nyaman serta menyulitkan.
Dari perawatan usai operasi, pasien harus
di ruang khusus, tidak boleh terkena infeksi.
Tidak hanya saat operasi, tapi setelah
operasi juga. Pasien setelah operasi juga harus minum Imunosupresan. Ini untuk
menekan respon imun.
“Dalam kondisi ada covid, susah
prosedurnya. Khawatir kena infeksi. Kalau gagal akan merugikan semua. Tidak
transplant bisa meninggal, transplant juga bisa meninggal,” ucap Prof
Hanifah.
“Kalau ada yang meninggal kami juga
sedih, karena transplant tidak berhasil,” katanya.
Yayasan Rumah Satu Hati mengeluarkan data,
sekitar 40-an anak atresia bilier meninggal dari Januari — Agustus 2020.
“Itu yang terdata di kami.
Kemungkinan, angkanya bisa lebih,” kata Hery Aldian, pengurus Yayasan
Rumah Satu Hati.
Juli 2020, kemarin, lanjutnya, anak-anak
atresia bilier banyak yang meninggal. Bahkan Ambulance milik Yayasan Rumah Satu
Hati belum sampai Jakarta, sudah ada yang meninggal lagi. “Sampai kami
harus pinjam ambulance,” kata Hery.
Yayasan Rumah Satu Hati — untuk saat ini
— memang menjadi satu-satunya lembaga yang concern mendampingi
anak-anak dengan atresia bilier.
Bahkan yayasan tersebut sudah memiliki
rumah singgah khusus anak-anak atresia bilier. Rumah ini diberi nama, Rumah
Singgah Pejuang Hati.
Saat ini, ada 5 anak atresia bilier yang
tinggal di Rumah Singgah Pejuang Hati. Total kamar yang dimiliki ada 7.
Bangunan ini memiliki 2 lantai. Di lantai 1 ada 3 kamar, dan di lantai 2 ada 4
kamar.
Salah satu penghuni Rumah Singgah Pejuang
Hati adalah Arsya dan kedua orangtuanya.
Tantangan di Masa Pandemi Covid
Sejak Indonesia dilanda wabah Covid-19,
satu per satu anak-anak atresia bilier berguguran. Pemandangan itulah yang
membuat Sartiani sempat berpikir apakah Arsya sampai transplant atau tidak,
atau sampai pandemi selesai, anaknya tertolong.
“Saya selalu cari tahu informasi
tentang program transplant, kapan program itu dibuka. Dan pihak rumah sakit
juga belum ada kepastian,” kata Sartiani.
Sebelum pandemi, Sartiani selalu rajin
ke RSCM untuk
pemeriksaan Arsya, meningkatkan nutrisi, dan pemeriksaan yang lain-lain. Saat
pandemi, tentu aktivitas itu dibatasi.
Sebisa mungkin, Sartiani mengurangi
bepergian ke RSCM jika itu tidak urgent.
“Yang penting, obatnya tidak putus.
Saya usahakan sebulan sekali pergi ke RSCM,” ucapnya.
Setiap hari, saat pandemi, Sartiani merasa
waswas. Program transplant hati adalah
jalan terakhir yang akan menyelamatkan hidup anak atresia bilier. Jika program
ini ditunda, artinya harapan hidup pun kecil.
“Saya maklum, memang anak kami butuh
penanganan, Cuma covid ini kan seluruh dunia, jadi saya tidak mungkin egois,
saya berpikir positif,” jelasnya.
“Saya ingin anak saya sehat, hanya
saja yang lain juga ingin sehat, seluruh dunia juga ingin sehat, ingin terbebas
dari covid dan saya ikhlas,” kata Sartiani.
Karena sudah melihat perjuangan anak-anak
yang lain, imbuh Sartiani, dan sudah sejauh ini, sudah selama ini di sini kalau
dirinya masih egois alangkah malunya.
Sartiani mengaku sangat terdampak dengan
adanya pandemi Covid-19. Ini terkait proses penyembuhan Arsya.
Anak-anak atresia bilier tak bisa lepas
dari selang Nasogastric Tube (NGT) di hidung untuk minum susu. Selang NGT per
satu minggu harus diganti. Itu normalnya.
Dengan adanya pembatasan pergi ke rumah
sakit, penggunaan selang NGT harus benar-benar dihemat. “Setiap kontrol
di RSCM, selang NGT
hanya diberikan 4 selang,” ucap Sartiani.
Dari data Yayasan Rumah Satu Hati, per Januari — Agustus
2020 tercatat sebanyak 82 anak yang mengalami atresia bilier.
Dyah Putri Ambarwati, pengurus Yayasan
Rumah Satu Hati mengaku banyak orang tua yang memiliki anak atresia bilier
ingin pergi ke Jakarta di tengah pandemi.
Tetapi, Dyah selalu memberi informasi bahwa
akan sangat banyak resiko jika harus pergi ke Jakarta di saat pandemi.
Persoalannya, sejak Februari — Agustus
2020, RSCM menunda program transplantasi hati.
“Kami arahkan untuk persiapkan diri di
daerah masing-masing. Kalau di sini, di rumah singgah hanya perbaikan gizi anak
saja,” kata Dyah.
“Banyak yang sudah sampai Jakarta
tanpa menghubungi kami juga ada, tapi kondisinya sudah mengkhawatirkan,”
imbuhnya. Nadine salah satunya.
Nadine datang dengan kondisi yang sudah
mengkhawatirkan. Akhirnya tidak lama di Jakarta terus berpulang. Nadine masih
beruntung, ada yang mendampingi dari Nias. Ada yang memberi biaya. Resiko sudah
ada yang tanggung.
“Banyak juga orangtua yang pergi ke
Jakarta dengan modal semangat saja. Di Jakarta — saat ini – tidak ada apa-apa
loh gitu. yang dicari di sini masih belum ada,” jelasnya.
Ini jelas berbeda saat sebelum pandemi,
ketika program transplant rutin bergulir. Ada harapan hidup di Jakarta.
“Saat ini harapan di Jakarta dan di
daerah itu sama. Sama-sama belum ada,” katanya.
Ruginya, lanjut Dyah, lebih banyak jika harus
ke Jakarta untuk saat ini. Karena orangtua harus meninggalkan pekerjaan. Banyak
resikonya untuk saat ini ke Jakarta.
Menurut Prof. Hanifah, RSCM sudah mencari yang
siap untuk transplant. Sampai Juli 2020 RSCM memang masih meraba.
“Kalau sekarang sudah ada yang siap,
kami akan kerjakan,” katanya. Tentunya, lanjut Prof. Hanifah, akan berubah
dari segi protokol.
Kesiapan pasien itu mencakup, ada tidaknya
pendonor hati, biaya,
pendonor dalam keadaan sehat, anak tidak boleh gizi buruk. “Sebelum
transplant, anak harus sudah divaksin,” jelasnya.
Kata Hery Aldian, dengan penundaan
transplant saja anak-anak atresia bilier sudah berat. Selama pandemi, imbuhnya, jalan
terbaik adalah mempersiapkan kesehatan anak dan
ketersediaan donor hati.
“Jadi ketika program transplant sudah
siap, tinggal masuk,” ucap Hery.
Sebuah Solusi dari Pandemi
Ketua Transplantasi Organ
dan Jaringan RSCM — FKUI, Prof. DR. dr. Hanifah Oswari SpA(K)
tengah merancang satu program untuk mendeteksi dini kemungkinan anak-anak
atresia bilier.
Prof. Hanifah akan menggandeng Kementerian
Kesehatan untuk program yang bisa menunda transplantasi hati anak-anak atresia
bilier melalui warna BAB ini.
Operasi transplant hati membutuhkan biaya
besar. Kisaran angkanya Rp 600-800 juta. Sementara itu, BPJS hanya sanggup
menanggung biaya kurang lebih sebesar Rp 261 juta.
“Sisanya, siapa yang akan bayar? Ya
pihak rumah sakit. Makanya, hanya RSCM yang sementara ini
sanggup melakukan program transplant,” ucap Prof. Hanifah.
Untuk mengurangi pengeluaran biaya yang
besar, Prof. Hanifah mengusulkan anak-anak atresia bilier untuk mengikuti
program operasi kasai.
Operasi ini dilakukan dengan memotong
bagian saluran empedu yang tertutup, lalu menggantinya dengan bagian dari usus
halus.
Menurut Prof. Hanifah, operasi kasai
dilakukan sebelum bayi berusia 2 bulan. Angka harapan hidup sampai menjalani
transplant hingga 80 persen. Kasai jauh lebih murah secara biaya. Dan semua
anak atresia bilier bisa kasai.
“Selamatkan anak atresia bilier
tanpa transplantasi,”
kata Prof. Hanifah.
Rentan Didiagnosis Reaktif Covid-19
Awal-awal wabah Covid-19 dan Jakarta
dinyatakan zona merah, Arsya sempat demam, dan muntah darah. Masih ditambah
lagi sesak. Prosedur RSCM, jika ada sesak harus tes swab.
Akhirnya, usai menjalani serangkaian
prosedur, Arsya dinyatakan PDP dan dibawa ke Gedung Kiara, tempat penanganan
pasien Covid-19 di RSCM.
Akan tetapi, Arsya tidak disatukan dengan
pasien yang sudah dinyatakan positif.
Selama 1 minggu, Arsya dirawat di Gedung
Kiara. Setelah hasil tesnya keluar, Arsya dinyatakan non reaktif. Kemudian,
Arsya dirawat di Gedung A, tempat perawatan biasa.
Waktu Jakarta menerapkan Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB), Sartiani hanya sebulan sekali pergi ke RSCM. itupun
untuk mengambil obat Arsya yang habis dan cek lab bulanan.
Obat yang dikonsumsi Arsya: Asam Urso,
Spironolakton, Apialis, SantaE, Propranolol, Omeprazol, dan Furosemide.
Itu obat yang kini menjadi teman Arsya,
yang kini 1 tahun 5 bulan tinggal di Rumah Singgah Pejuang Hati menunggu program transplantasi hati
dibuka kembali.
Juni 2020, kawasan Cikini — tempat Rumah
Singgah Pejuang Hati — dinyatakan zona merah. Karena prosedur kebersihan yang
ketat, tempat anak-anak atresia bilier justru dinyatakan aman. Sementara,
banyak warga di sekitar rumah singgah yang dibawa ke rumah sakit.
Menurut Hery Aldian, banyak anak atresia
biliar yang terindikasi suspect Covid-19. Alasan utamanya, pneumonia.
Senja Bagi Nadine
Usai menjalani perawatan di RS Murni Teguh
di Medan, Erna dan Ivan membawa Nadine ke RSCM untuk mendapatkan
perawatan yang maksimal. RSCM menjadi satu-satunya harapan bagi Nadine untuk
sembuh.
Di dalam pesawat terbang, sambil
menggendong Nadine, Erna mengulang ucapan dokter kepada Ivan.
Percakapan suami istri itu terkait siapa di
antara mereka yang akan mendonorkan hati untuk Nadine. “Dan kami semuanya
siap,” kenang Erna.
Tetapi jika di antara keduanya tidak sehat?
“Itulah yang membuat kami pusing,” kata Erna.
Saat masih di pesawat, Ivan memiliki
keyakinan 70% terhadap kesembuhan Nadine. Tetapi begitu sampai RSCM, harapan
Ivan mulai pudar.
Kondisi Nadine semakin memburuk. Memang
sebelum dirujuk ke RSCM, kondisi Nadine sudah begitu mengkhawatirkan.
“Saya tidak menyalahkan RSCM,” ucap Ivan.
Selepas Nadine mengembuskan nafas
terakhir, RSCM mengeluarkan
Sertifikat Medis Penyebab Kematian.
Awalnya, sertifikat itu menunjukkan gejala
kematian Nadine akibat Covid-19, meski bukan gejala mayor. Alasan utamanya,
Nadine memiliki paru-paru basah.
Melihat isi sertifikat medis penyebab
kematian, Ivan lantas protes. Dengan amarah yang meluah, Ivan menolak isi
sertifikat itu.
Pasalnya, diawal pemeriksaan, pihak RSCM
tidak ada diagnosis yang mengarah Covid-19. Tetapi setelah meninggal, pihak
rumah sakit justru menulis sebab kematian Nadine, salah satunya karena
Covid-19.
“Janganlah anak ini meninggal karena
covid, kami yang bertiga, berempat ini pulang nanti kami ke Nias belum tentu
kami diterima,”
“Nggak masalah kalau betul covid anak
saya ini, nggak masalah dikubur di Jakarta ini, tempat pemakaman covid,”
“Keluarga kami mendengar ini di Nias
bagaimana nasib kami bakal tidak diterima lagilah kami tiga orang ini. Sudah
kena covid orang itu,” cerita Ivan.
Erna sempat tidak sadarkan diri saat
mendengar Nadine meninggal — salah satunya — disebabkan
karena suspect covid-19. Itu artinya, Nadine tidak bisa dimakamkan di
Nias.
“Kalau Nadine tidak bisa pulang, saya
juga tidak pulang. Sempat khawatir. Saya tidak mau meninggalkan Nadine. Saya
sempat berpikir untuk tinggal di Jakarta selamanya,” kata Erna mengenang
peristiwa 10 Agustus 2020 itu.
Hery Aldian yang mendampingi Ivan menemui
pihak RSCM mengatakan, alasan pihak rumah sakit
menulis suspect covid-19 adalah, pihak rumah sakit tidak ingin ada
penularan dikemudian hari saat hasil rapid tesnya keluar dan reaktif
Covid-19. “Rumah sakit juga dilema,” ucap Hery.
“Tujuannya adalah untuk keluarga agar
tetap menjaga dan tidak ada penularan,” kata Prof. Hanifah menguatkan
upaya preventif yang dilakukan pihak rumah sakit.
Diskriminasi dan Masa Depan Arsya
Erna sempat khawatir ada perlakuan
diskriminatif di Nias akibat sertifikat medis penyebab kematian Nadine
terkait suspect covid-19.
Erna tidak tahu lagi harus berbuat apa jika
pada akhirnya, Nadine harus dimakamkan di Jakarta, sementara dirinya dan suami
kembali ke Nias.
Bahkan, Erna sudah membayangkan akan adanya
penolakan dari masyarakat Nias saat dirinya kembali.
Tapi, kekhawatiran itu buru-buru ditepis
ketika pihak RSCM berkenan
mengubah isi sertifikat medis penyebab kematian Nadine.
Jumat, 14 Agustus 2020, Nadine dimakamkan
di tempat pemakaman umum di Desa Baruzo, Kecamatan Sogaeadu, Kabupaten Nias,
Sumetera Utara.
Di Jakarta, Arsya dan kelima anak atresia
bilier yang kini tinggal di Rumah Singgah Pejuang hati hanya bisa berharap,
pihak RSCM kembali membuka program transplantasi hati.
Karena bagi mereka, hanya itu alasan utama datang ke Jakarta.
Di masa pandemi seperti ini, tak
banyak kegiatan yang dilakukan penghuni Rumah Singgah Pejuang Hati.
Setiap hari jika tidak ada jadwal kontrol
ke RSCM, hanya berdiam diri di kamar. “Terkadang, saya isi kekosongan
kegiatan dengan senam dan memasak,” kata Sartiani.
Jumat, 24 April 2020, saat Jakarta
menerapkan PSBB, Dyah Putri Ambarwati mengirim pesan ke penulis, “Pasienku
terpenjara akibat PSBB di Jakarta. Nggak ada yang bisa keluar. Aku waswas saja
kalau ada yang meninggal, bagaimana nih?”
“Yang tertahan di Jakarta menjadi
tanggungan kami (Yayasan Rumah Satu Hati). Mereka makan saja susah, biaya hidup
juga mahal. Mata publik semua fokus ke covid-19,” katanya.
“Sekarang, selama program transplant
belum dibuka, kami akan melihat satu per satu anak-anak kami berguguran tanpa
harapan,” ucap Dyah.
.
Pernah dipublikasikan di Seluang.id dan
kompasiana
Recent Comments
SENJA DI MATA YANG MENGUNING
by Pejuang Hati
SENJA DI MATA YANG MENGUNING
by Dhini Astarini